Translate to

Monday, January 27, 2014

Setiap Manusia Punya Hak

Marxisme berbicara bahwa kadang kita dibodohi, bahkan dijadikan objek bukannya subjek ini adalah inti gagasannya mengenai alienasi. Memang benar bahwa konsep alienasi dimana manusia menjadi semakin asing dengan lingkungannya kian menjadi nyata. Bukan saja dalam hal agama, manusia menjadi rentan untuk tidak bersosialisasi. Ada 3 poin utama mengenai hak asasi. Hak asasi untuk hidup, hak asasi untuk berpendidikan, hak untuk berbeda.

Hak asasi baru diketahui ketika Inggris diparuh 1800an dengan bill of rightnya membuat manusia mrmulai kehidupan yang sedikit lebih bebas dari tatanan feodal yang menjerat. Memang pada waktu itu, tuan tanah menginjak martabat manusia, membuat manusia dijadikam barang, apalagi mereka yang benar benar termarginalkan. Mengapa manusia harus hidup, kalau ada kesusahan seperti ini? Setiap kalo kita bangun dan mulai bekerja bukanlah anda berpikir sudah sangat esensial makna hidup. Lalu pertanyaannya, sedangkal itukah makna hidup anda? Hidup kadang diperebutkan dalam sketsa kelaparan, saat etnis rohingya diserbu di Myanmar, dan saat anak anak suriah mati tertembak oleh sniper pasukan pro pemerintah. Itukah makna hidup? Menurut penulis hidup yang dimaknai adalah kontribusi. Kontribusi atas apa yang anda geluti. Jadilah sesuatu yang memang benar benar berguna. Lingkup yang kecil tidak mempenharuhi jikalau ada niat.

Hak untuk berpendidikan. Sampai sekarang, penulis masih menganggap kalau pendidikan merupakan jalan tercepat dalam menempuh strata. Kadang memang orang berebut mencari pekerjaan, mencari muka, namun secara umum, memang pendidikan menjadi model untuk mencari kerja. Dengan bermodalkan sehelai kertas dengan nama anda disitu maka setidaknya UMP DKI sudah ditangan anda setiap bulan. Saya kira pendidikan bukan hanya sebatas itu. Pendidikan itu mengkader. Kader untuk gerakan baru yang harus terus disiapkan. Jangan sampai bahwa karena sudah berpendidikan maka tidak rela jika ilmunya disebar ke orang lain.

Hal yang terakhir adalah hak untuk berbeda. Setelah saya lihat bahwa orang Indonesia beraneka ragam, itu adalah modal sosial sebagai penggerak bermasyarakat. Memang rasisme atau apartheid telah selesai, namun bentuk rasisme yang baru akan dimulai, ketika memang kehidupan ekonomi membedakan orang. Saya tertarik dengan kata kata Gusdur : kalau engkau berbuat yang baik, engkau tidak akan ditanya agamamu. Begitu singkat dan begitu jelas bahwa multikulturalisme menuntut pandangan radikal agar dunia ini menjadi seimbang

Tentang Saya

My photo
Dimensi kosmos yang ingin mengembangkan horizonnya

Pengunjung Berasal