Translate to

Wednesday, August 22, 2012

Apa yang Ingin Dikatakan Soegija


            Soegija, Uskup pribumi pertama di Indonesia, merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Indonesia. Melalui surat yang dikirim oleh takhta apostolik Vatikan, Rm. Soegija diangkat menjadi Uskup Danaba wilayah Semarang. Hal ini menjadi suatu kebanggaan karena Soegija merupakan Uskup Pribumi Pertama dari Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis ingin membagikan sharing bagaimana film "Soegija" menjadi butir perenungaan akan keberagaman, dan kemerdekaan.
            Butir perenungan pertama mengenai keberagaman. Menyentuh sekali bahwa film ini menggali ide pemikiran Soegija. Dalam buku hariannya, Soegija menyatakan "Kemanusiaan itu satu, kendati kita berbeda dan beragam, namun kita adalah satu keluarga besar." Kita melihat bahwa situasi yang ada sekarang, bagaimana keberagaman didustai berbeda dengan kondisi ketika gencatan senjata oleh NICA ke kota Jogjakarta. Dalam film, kita dapat melihat bahwa agresi militer II oleh Belanda membuat kita tercengang. Banyak korban berjatuhan, dan juga banyak gerilyawan yang tertangkap. Keprihatinan Soegija menjadi suatu tindakan nyata dengan dibukanya Gereja Bintaran sebagai rumah persinggahan dan rumah sakit. Sungguh menyentuh bahwa apa yang ingin dikatakan dari sini, adalah bahwa sejak semula bangsa Indonesia, telah bersatu untuk mengusir bentuk-bentuk penjajahan. Alhasil, dimanakah rasa untuk bersatu itu sekarang? Pesan yang cukup tajam, dengan pesan yang relevansinya masih cukup terang hingga saat ini. Tidak usah melulu pada keberagaman dengan umat beragama yang lain, namun masihkah kita melihat bahwa keberagaman itu harus berada di tingkat Paroki bahkan Gereja? Keberagaman itu yang singkatnya, menurut dokumen Rerum Novarum sebagai "Anggota tubuh mistik Kristus, kita harus saling bersatu!"
            Butir perenungan kedua adalah mengenai kemerdekaan. Dalam film yang terakhir ini, patut kita lihat bahwa Soegija menulis "Apa gunanya menjadi bangsa merdeka, jika kita gagal mendidik diri sendiri?" Penulis dapat merasakan bahwa Soegija khawatir apabila bentuk-bentuk penjajahan yang baru membuat bangsa Indonesia, terutama kaum mudanya merasa kemerdekaan itu sia-sia. Yang beliau inginkan adalah bahwa kemerdekaan itu harus menjadi suatu tonggak kemerdekaan bagi diri sendiri, karena setiap diri kita adalah merdeka. Dan kemerdekaan merupakan hak dari kita. Ajaran Sosial Gereja (ASG), Populorum Progressio patut menjadi acuan bagi kata-kata beliau, bahwa: "Patutnya Gereja mengakui kemerekaan yang dirasakan sebagai tanggung jawab bagi anggota Gereja untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat." Terutama, haruslah dikatakan bahwa kemerdekaan menjadi tanggung jawab bersama kita, untuk terus bertanggung jawab. Tanggung jawab ini tidak ringan, karena kita disuruh untuk mendidik diri sendiri. Pribadi inilah yang terus dihayati oleh Gereja, sebab ASG nantinya bermuara pada kebebasan individu, dan kebebasan individu merupakan esensi dari kemerdekaan.
            Akhirnya, dua pesan yang ingin disampaikan oleh Soegija adalah bahwa Gereja harus beragam dalam arti kehidupan sosialnya, sebab hakikatnya Gereja merupakan satu anggota keluarga besar, kita harus saling mengasihi sesama anggota keluarga. Kedua adalah hakikat kemerdekaan, yaitu agar kita bisa mendidik diri dengan kemerdekaan yang telah kita miliki. Ad Maioreim Dei Gloriam.

Tuesday, August 21, 2012

Serikat Pekerja dan relevansinya


Semenjak Kapitalisme menjadi tren masyarakat sesudah revolusi Inggris, praktis ada orang yang dijadikan pekerja. Saya rasa ini bukan suatu yang berlebihan, sebab dengann dimulainya mesin uap pada pemintal kain, dimulai juga reproduksi kapital. Reproduksi kapital ini yang menyebabkan eksloitasi kaum pekerja dan masyarakat sendiri. Jahatnya, mengapa ada orang yang begitu kaya dan begitu miskin? Sebabnya yaitu reproduksi Kapital dimana membayar pekerja dengan sedikit upah, supaya kelebihannya bisa diputar untuk kapital. Kapital disini yaitu berarti uang yang dijadikan sarana untuk mendapatkan harta lagi.
            Diruntut dari sejarahnya, dari Jaman Feodalisme sampai dengan Revolusi Inggris, tidak ada yang namamnya serikat pekerja. Stratifikasi Sosial tidak memperbolehkan adanya serikat pekerja seperti itu, karena para tuan tanah tidak memfasilitasinya untuk seperti itu. Tetapi, seiriing dengan dengan perkembangan jaman dan revolusi industri. Sistem Kapitalisme yang dibarengi dengan sistem liberalisme memperbolehkan suatu organisasi serikat pekerja, dan sejak itu dimulainya suatu ketidakadilan.
            Serikat pekerja memiliki fungsi untuk mengawasi kinerja dan juga mengontrol fungsi keadilan. Tetapi, saya masih melihat fungsi yang tidak dijalankan secara maksimal dari fungsi pengontrolan. Relevansinya yaitu, masih diperlukan suatu serikat pekerja 

Gereja di Tengah Pergumulan Jaman



(Komentar mengenai ASG)
     Kita melihat bahwa ketidakadilan ada dimana-mana. Lalu, orang melihat bahwa yang patut disalahkan yaitu Allah. Pernyataan ini dibenarkan karena mulai dari Nietzche sampai dengan filsuf post-modernisme, menyatakan bahwa Allah itu sudah tidak ada. Penulis jadi teringat mengenai seorang pemuda yang datang ke salon untuk dicukur lalu, pemuda ini mempermasalahkan ketidakadilan yang ada di dunia ini. Lalu, tukang cukur itu berkata: "Seperti halnya orang yang urakan di jalan, tidak semua orang urakan mencari saya. Sama halnya dengan ketidakadilan."
     Penulis mengerti bahwa harus cukup lama meresapkan cerita ini, karena cerita ini kaya dengan makna. Dan dengan ketidakadilan, Gereja ingin berjalan bersama dengan kaum yang terpinggirkan. Pernah teman saya bertanya mengapa Gereja hanya peduli pada yang miskin material saja, tetapi tidak berpikir mengenai yang miskin rohaninya. Saya kira dia belum sepenuhnya mengerti mengenai ketidakadilan yang benar-benar terjadi. Bahwa mayoritas 'warga' Kerajaan Allah adalah mereka yang tertindas. Oleh karena itu prefential option for poor harus menjadi nyata ditengah masyarakat.
     Sebenarnya ada 2 pokok masalah yang bisa ditelaah lewat celah analisis. Model pertama yaitu konflik dan model yang kedua yaitu konsensus. Cara yang lebih radiikal adalah lewat model konflik karena dalam penelaahannya, orang yang berada di puncak disalahkan karena menjadi penyebab kemiskinan. Kemiskinan yang membuat martabat manusia direndahkan.
     Gereja selalu paham akan perasaan mengenai martabat manusia. Dan kalau saya merangkum semua ajaran sosial gereja dengan satu kata yang saya buat maka, martabat manusia menjadi labuhannya. Mengapa martabat manusia menjadi sangat penting? Karena dari ensilik Rerum Novarum sampa dengan Cantetismus Annus, terlebih martabat manusia ditonjolkan. Dari martabat itu bisa digambarkan mengenai keadaan kerja manusia, dan juga asas keadilan sebagai warga Allah dan warga masyarakat.
     Terakhir, apa yang harus dilakukan oleh ku menyikapi ajaran sosial Gereja. Saya terkesan bagaimana orang berusaha untuk senantiasa mengembangkan imannya secara bertanggung jawab. Masa-masa muda yang gembira haruslah diisi dengan suatu pengalaman kasihNya. Caranya bisa lewat bermacam-macam. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapi sebagai manusia yang semakin memanusiakan diri baik rohani maupun jasmani. Ad Maioreim Dei Gloriam

Antara yang berpengalaman dan Yang pembelajar


      Pernahkah kita merasa bahwa kita terus mengalami perubahan? Perubahan yang terjadi tidak saja membuat kita sadar. Bahkan kita takut bahwa zona nyaman atau comfort zone, mau diambil oleh orang lain. Perubahan itu menyertai kondisi jaman, dan setiap waktu ita disuguhi oleh berbagai macam perubahan. Baru-baru ini para ilmuwan menemukan partikel tuhan (Higgs Bason). Ini menunjukkan bahwa perubahan pasti terjadi, dan perubahan itu berdampak bagi kehidupan, bahkan keadaan tidak ada yang statis. Tentunya perlu diambil sikap arif dalam menghadapi perubahan. Dan dalam KEP angkatan ini, perubahan akan menjadi semakin nyata.
      Sejak sidang sinode KAJ I sampai dengan yang terakhir, konsep mengenai pembinaan kaum muda menjadi sangat penting. Namun, bisa dikatakan realisasi dari hal itu belum sepenuhnya terjadi. Kesediaan pengurus lama (Yang berpengalaman) dan kaum muda (yang notabenenya pembelajar) belum mau saling terbuka untuk mengisi apa yang kurang dalam tubuh gerejaNya, yaitu rasa kebersatuan. Memang sudah ada yang bisa saling mengisi, namun kesadaran untuk berbagi pengalaman harus terus dibina.
      Kami, para panitia bersyukur bahwa banyak kaum muda yang mau untuk belajar terlebih mengendapkan afeksi (perasaannya) di Kursus Evangelisasi Pribadi ini.Bahkan ada yang beberapa masih duduk dibangku SLTA atau SMU. Penulis mengharapkan bahwa mereka dapat menjadi penerus dari generasi ini. Tentu saja, proses pengkaderan masih akan terus berlanjut (on going formation). Berkat roh kudus juga, dapat kita saksikan umur yang sudah lanjut ingin dan merindukan menjadi pembelajar.
      Sesuai amanat dari ensilik sosial kepausan Rerum Novarum, bahwa martabat tiap pribadi orang merupakan sama. Maka, dapat kita katakan bahwa kesediaan kaum muda dan generasi sebelumnya dapat mengisi pengalaman, tanpa mendiskriminasikan. Penulis menulis ini, agar menjadi semakin sadar akan perubahan dalam gereja yang sedemikian cepat ini! Gereja memerlukan suatu terobosan bahkan insight untuk mengatakan kabar baik kepada semua orang bahkan kepada generasi muda yang serba teknologi atau generasi X.
       Menjadi suatu renungan bagi kita bersama, bahkan pada saat ini. Beranikah yang berpengalaman memberikan suatu pengalaman yang baru kepada pembelajar. Sehingga 'tubuh' Kristus menjadi sempurna di dalam ketersediaan untuk belajar.
       Akhirnya, proficiat terhadap kaum muda yang mau melayani dan berbagi dalam kursus ini. Gereja memerlukan kamu! Kamu menjadi suatu perpanjangan tangan dan penerus dari umat Allah. Selamat mengikuti kursus, berkat Tuhan selalu menyertai. Ad Maioreim Dei Gloriam.

Tentang Saya

My photo
Dimensi kosmos yang ingin mengembangkan horizonnya

Pengunjung Berasal